This is Header Alert

Artikel

EKOLOGI DI BULAN MUHARRAM

Dr. Ahmad Afif 9 Juli 2025
Bagikan ke

Tidak heran memang—Muharram menjadi bulan ekologi – dalam kalender Hijriah. Desas-desus kala kita mengingat rentetan sejarah dalam bulan Muharram, tentu kita tidak luput dari peristiwa para Nabiyullah. Begitu juga, pada tanggal 10 Muharram, orang Islam disunnahkan mengadakan event kasih sayang kepada anak yatim dan dhuafa. Tapi, akulturasi budaya juga telah mengkloning tradisi Muharram – sebagai bulan yang dimuliakan oleh Allah – kepada praktik local wisdom. Di Jawa, bulan Muharram atau Suro sering dijadikan sebagai event tahunan melalui budaya larung sesaji. Tradisi ini melibatkan pelarungan atau penghanyutan berbagai sesaji, seperti hasil bumi, ke laut, sungai, atau telaga, sebagai wujud rasa syukur dan permohonan keselamatan. Di Yogyakarta, momen suro/Muharram dijadikan momen kirab pusaka, mubeng beteng, Jamatan Pusaka, Selamatan, dan tapa bisu. Di Cirebon, Aceh, Kalimantan menjadikan Suro sebagai momen untuk mengadakan acara tradisi budaya berupa makan bubur suro, Di Banyuwangi, acara Suro dijadikan momen tradisi Petik Laut sebagai ungkapan syukur atas hasil laut dan permohonan keselamatan. Dan masih banyak lagi lainnya.

Apabila kita perhatikan, peringatan Suro/Muharram di Indonesia erat kaitannya dengan istilah Ekologi. Definisnya yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya, baik itu sesama makhluk hidup maupun dengan faktor-faktor abiotik (tak hidup). Ekologi mencakup studi tentang bagaimana organisme berinteraksi dalam ekosistem, bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungannya, dan bagaimana lingkungan mempengaruhi organisme tersebut. Muharram telah bermetamorfosa di Indonesia dengan berbagai kekayaan budayanya. Suro -- istilah di Indonesia-- mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menegaskan bahwa kalender Hijriah merupakan patokan resmi umat Islam dalam rangkaian tahunan ibadah dan muamalah. Kita tidak menampik bahwasanya puasa akan disandarkan pada Ramadhan, Haji disandarkan pada bulan Dzulhijjah, serta momen sakral lainnya. Kesemuanya itu merupakan alasan nyata mengapa Rasulullah saw. menganjurkan peringatan di momen Muharram.                   

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiya wal Mursalin karya Abullaits Assamarqandi (w. 373 H) menyebutkan besarnya pahala mengusap kepala yatim:

 مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً

Artinya: Barang siapa berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharram, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan barang siapa mengusap kepala yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.  Dalam Kitab Majma’ Zawaid juga dijelaskan seperti ini:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ: امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ». رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ.

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya seseorang melaporkan kekerasan hatinya kepada Nabi Muhammad, lalu Nabi berpesan: Usaplah kepala yatim dan berilah makanan orang miskin (HR Ahmad, para perawinya sahih).

Seharusnya, kita juga mengambil natijah bahwa momen Muharram menandakan justifikasi Allah swt. atas seluruh ekosistem hayati dan non hayati di dunia; sebagai manifestasi akhirat. Hubungan manusia sebagai aktor utama di bumi dengan biotik (hidup) dan abiotik (tak hidup) perlu direminder setiap tahunnya. Gagal paham dengan isu perusakan lingkungan mesti menjadi jalan terjal dalam momen Muharram ini. Bisa saja Nabi Muhammad saw. tidak merekomendasikan untuk memberikan kasih sayang terhadap sesama, namun faktor utama dalam realisasi -- ekologis akulturasi budaya di momen Muharram—menjadi bukti nyata bahwa kasih sayang harus ditujukan kepada aktor utama agar bisa memperhatikan makhluk lainnya.

#Kebenaran
Bagikan ke

Artikel Lainnya