This is Header Alert

Artikel

Kaidah ما لا يدرك كله لا يترك كله Pada Pola Sistem Keuangan

Dr. Ahmad Afif 24 Juli 2025
Bagikan ke

Dunia ekonomi—apalagi keuangan – sedang tidak baik-baik saja. Hal ini mengandung maksud bahwa geliat sistem kapitalis dan liberalis seakan tidak akan mau menyerah untuk merongrong inklusivitas dan sirkulasi ekonomi. Perbedaan persepsi kemiskinan karena disebabkan oleh sistem ekonomi dunia yang hanya mengandalkan primodial tanpa menganut asas kekeluargaan berbasis rakyat, tentunya menjadi malapetaka ekonomi dan kesenjangan pada rasio gini. Rasio Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Informasi dari World Population Review, Indonesia masuk dalam urutan ke 73 negara termiskin di dunia. Indikator penentuannya diperoleh dari suatu kondisi tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat garis kemiskinan sebesar Rp595.242,00/kapita/bulan pada September 2024. Hal ini menggunakan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp443.433 (74,50%) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp151.809 (25,5%).

              Hal tersebut membuat rasio gini di Indonesia melampaui batas aman dari ketentuan Bank Dunia. BPS merilis bahwa distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,40 persen. Jika dirinci berdasarkan daerah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 17,41 persen. Sementara untuk daerah pedesaan, angkanya tercatat sebesar 21,39 persen. Artinya bahwa rasio gini di pedesaan sangat tinggi daripada di perkotaan. Hal ihwal tersebut tentunya mengacu pada pola ekonomi SAK KAREPE DEWE (red; Bahasa Jawa; baca; maunya sendiri). Masyarakat pedesaan disinyalir masih kalah paham dengan akulturasi zaman; dari budaya kedaerahan menuju pada budaya masyarakat modern. Tentunya, pola ekonomi yang menjamur pada sistem moneter dunia secara sistemik perlu mendapatkan perhatian penuh oleh segenap stakeholder ekonom konvensional maupun syariah. Ketentuan suku bunga acuan (BI Rate) di Indonesia yang mengacu pada pola nilai tukar berdasarkan spekulan maupun kondisi ekonomi negeri perlu mendapatkan perhatian. Sistem yang telah berjalan selama ini disinyalir RIBA karena faktor transaksi uang dengan uang di Pasar Sekunder. Akan tetapi, semuanya telah disepakati dan dikaji untuk dicarikan jalan tengah melalui turunan akad muamalah Maliyah yang bisa menjadi solusi atas praktik gharar di pasar uang.

 

Konsep Moneter Konvensional

Konsep ekonomi moneter konvensional adalah sebuah konsep di mana instrumen utama dalam kebijakan moneter yang digunakan adalah tingkat suku bunga. Pada konsep ekonomi konvensional terdapat tujuan memegang uang yang didasarkan pada 3 keinginan,tujuan transaksi, tujuan spekulasi, tujuan berjaga-jaga. Atas hal ini, Fatwa DSN-MUI No.37/DSN-MUI/IX/2002 pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah memberikan fatwa bahwa tidak boleh menggunakan bunga dan dapat diganti dengan kontrak seperti mudharabah, musyarakah, Al-qard, dan wadiah. Konsekuensi atas transaksi nuqud bil nuqud sesungguhnya tidak diperbolehkan, namun upaya otoritas perlu terus digalakkan. Hal ini mengacu pada kaidah fikih تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair). Pemerintah Indonesia dan Bank Sentral tidak bisa tidak meninggalkan sistem moneter dunia berdasarkan nilai mata uang (valas) dalam menjaga stabilitas moneter untuk ekonomi domestik. Untuk menghindari adanya kebimbangan pasar dan ekonomi negeri serta tetap menjaga konteks kejelasan transaksi sesuai ketentuan fikih mumalah, maka BI mencetuskan sebuah pola untuk menggantikan sistem Suku Bunga Acuan (BI RATE) dengan pola Repo Reverse 7 hari. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya.

 

Sikap Muslim

Jikalau kita cermati bersama bahwa Indonesia terus berupaya meninggalkan praktik berekonomi yang tidak jelas. Bisa dikatakan bahwa kapitalis dan liberalis yang dibawa oleh orang Barat berusaha diimbangi dengan rasio berpikir logis dalam menjaga rasio gini sesuai pattern. Sebagai seorang Muslim, kita perlu terus mendukung upaya pemerintah di negeri tercinta ini; khususnya berkaitan dengan sistem dan lembaga keuangan Syariah. Seyogyanya, lembaga keuangan syariah hadir untuk menjadi pelepas dahaga di tengah gurun Sahara; ibarat dikata. Memang masih sulit mengenyahkan pola ribawi di dunia global, akan tetapi kalau tidak ada usaha untuk berjuang, maka akan selamanya begini. Secercah harapan tersebut tertuang dalam pola Dakwah Bil Muamalah Maliyah. Mengutip kaidah Ushul Fikih ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya), maknanya menjelaskan bahwa kalau saat ini negara belum bisa menyelesaikan persoalan sistem keuangan yang ada, maka jangan ditinggalkan sistem keuangan syariah sebagai opsi solusinya, tetapi diperbaiki terus sehingga menjadi baik dan bisa membereskan persoalan.

#Kebenaran
Bagikan ke

Artikel Lainnya