This is Header Alert

Artikel

KONSEP IJARAH DALAM FIKIH MUAMALAH KONTEMPORER

Dr. Ahmad Afif 27 Mei 2025
Bagikan ke

Allah memberikan ilustrasi praktik ijarah sebagai skema akad yang diperbolehkan untuk dlakukan oleh manusia dalam bermuamalah. Al baqarah ayat 233 menjelaskan bahwa : Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Selanjutnya hadits rasul juga memberikan ilustrasinya pada riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri: "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

Dalil di atas, kemudian dikembangkan oleh para ulama’ dalam melakukan ijtihad dengan ijma’ (kesepakatan ulama’) diantara mereka melalui kebolehan akad ijarah untuk dilaksanakan.

              Ijarah mempunyai makna dasar bai’ manfaat oleh para ulama’ madzhab. Namun, konsekuensi  atas akad tersebut hanya sebatas manfaat. Penyerahan ‘ain secara total (muwafadhah) tidak berlaku di sini. Perbedaan selanjutnya ada pada nilai hak guna manfaat. Ijarah mempunyai nilai guna manfaat dengan sebutan ujroh mitsli. Sedangkan jual beli secara total mempunyai qimah (nilai yang dipersamakan dengan mabi’). Lantas bagaimana cara mengukur ujroh mitsli ?

Imam qorofi menyatakan bahwa: قال القرافي: "والأصل أنَّ قاعدة كثرة الثواب كثرة الفعل، وقاعدة قلة الثواب قلة الفعل؛ فإن كثرة الأفعال في القُرُبات تستلزم كثرة المصالح غالبًا". (الفروق [2/ 235])..

Barometer ujroh mitsli ada pada sejauh mana pekerjaan dilaksanakan berdasarkan tingkat kesulitan serta faktor kinerjanya. Hal tersebut sudah sesuai dengan realitas industri khususnya LKS (Lembaga Keuangan Syariah). Begitu juga tentang spekulasi penentuan kadar gaji para karyawan dan buruh pada konsep realitas. Terkadang, tidak sedikit yang menentukan besaran gaji karyawannya berdasarkan waktu pengabdian. Kadang ada juga beberapa instansi yang menentukan kadar gaji berdasarkan kinerja. Tidak salah bahwa perusahaan ada yang memberikan Key Performance Indicators (KPI). KPI adalah salah satu alat ukur kinerja karyawan yang digunakan manajemen, untuk mengukur seberapa baik performa karyawan dalam mencapai sasaran, dan tujuan strategis yang telah ditetapkan perusahaan.

Kini, konstruksi akad ijarah telah banyak digunakan pada produk LKS. IMFD (Iiarah maushufah fi al-dzimmaft) adalah akad ijarah atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas). Perbankan syariah di Indonesia pada rentang waktu 2024-2025 sampai bulan Januari telah memperoleh ekuivalen sebesar 8%, namun hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan skema murabahah sebesar 9%. IMFD juga terlihat pada Pembiayaan Pemilikan Perumahan Inden, Sukuk, Pendidikan dan perjalanan haji serta umroh.

              Disamping itu, pola pencatatan akuntansi juga harus diatur dengan baik. Apabila polanya menggunakan accrual based, maka akan cenderung terjadi gharar dalam neraca perusahaan. Sebaliknya apabila cash based akan lebih layak digunakan. Padahal secara regulasi telah diatur dalam SAK ETAP dan PSAK No.107 tentang Akuntansi Ijarah. Jenis pencatatan ini juga menjadi polemik tersendiri manakala sistem pencatatan dihadapkan oleh cash flow yang hanya cenderung pada pola pencatatan transaksi keuangan yang mencatat transaksi pada saat transaksi itu sendiri terjadi, bukan pada saat uang benar-benar berpindah tangan.

Kendala lain ada pada aspek hukum. Pola ijarah mirip dengan jaminan fidusia. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). 

Oleh karenanya, prinsip Ijarah perlu mengedepankan dan memperhatikan hududiyat (batasan) dan dhawabith (ketentuan). Tidak ada satupun kaidah syariat yang tidak mengutamakan mashlahah. Pada dasarnya, kemashlahatan bukan hanya menjadi pemuas satu pihak saja, misalkan Mu’jir (Menyewakan). Akan tetapi, pola akad justru akan memberikan rasa keadilan dalam transaksi pada semua pihak. Sehingga akan meminimalisir dispute. Pola syariah juga memberikan konsep musyawarah (arbitrase) dalam masa dispute sedang terjadi. Konsekuensi logisnya adalah shuluh (damai); win-win solution. Tentu saja, apabila tidak ditemukan jalan keluar—ketika dispute—maka akan ditempuh jalur hukum.

 

#Kebenaran
Bagikan ke

Artikel Lainnya