Niat Puasa

Pernahkah Anda terpikir bahwa dari semua rukun ibadah yang kita lakukan, niat adalah yang paling utama dibandingkan rukun lainnya? Rukun ibadah memiliki banyak bagian, tetapi niat selalu menempati urutan pertama, jarang berada di posisi kedua atau terakhir. Lalu, mengapa niat menjadi begitu penting sebagai titik awal dalam melaksanakan ibadah sehari-hari?
Secara mendasar, niat merupakan pondasi jiwa seseorang. Jika niat seseorang baik dan disertai dengan keikhlasan kepada Allah SWT, maka amalannya pun akan baik. Konsep ini sering dijelaskan dalam kerangka berpikir Tasawuf. Namun, jika ditinjau dari perspektif Fikih, niat adalah salah satu rukun ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim.
Niat tidak harus diucapkan secara lisan, melainkan cukup terbesit dalam hati agar dianggap sah. Meski demikian, melafalkan niat dapat membantu seseorang lebih berkonsentrasi dalam ibadah. Oleh karena itu, hukum mengucapkan niat tidak wajib, melainkan sunnah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab:
عَنْ أَمِيْرِ اْلُمْؤمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللِه يَقُُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالِّنيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِِلىَ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan bernilai karena Allah dan Rasul-Nya. Namun, barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya hanya bernilai sesuai dengan apa yang ia niatkan.'" (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا,Artinya:” Semua perbuatan tergantung niatnya.” Dalil kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Jelaslah bahwa niat sangat sentral; sebagai kesesuaian ibadah untuk dapat dilaksanakan dan diterima oleh Allah swt. Tidak mungkin kita melakukan pekerjaan, namun tak ada arah dan tujuan. Orang yang tidak genap akalnya saja, terus berjalan tanpa henti karena tujuannya mencari jati diri dari pikiran yang tak karuan.
Dalam pembahasan fikih, niat dalam puasa dibagi menjadi dua kategori, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah.
Pada puasa wajib, terdapat perbedaan pendapat mengenai batas waktu niat. Umumnya, niat harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar. Namun, Quraish Shihab mengutip pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa jika seseorang berniat puasa Ramadhan setelah terbit fajar, puasanya tetap sah. Di sisi lain, mazhab Maliki tidak mewajibkan niat setiap malam. Menurut mereka, cukup berniat sekali di awal Ramadhan untuk sebulan penuh.
Pendapat ini berbeda dengan Ali Mustafa Yaqub, yang menegaskan bahwa niat harus dilakukan setiap hari. Menurutnya, setiap hari di bulan Ramadhan adalah ibadah yang berdiri sendiri, sehingga niat tidak bisa disatukan untuk satu bulan penuh.
Sementara itu, dalam puasa sunnah, niat tidak harus dilakukan pada malam hari. Para ulama juga membahas kebolehan berniat pada siang hari. Salah satu pendapat datang dari Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam Maqaashidul Mukallafin: An-Niyyat fil ‘Ibaadaat. Ia menyatakan bahwa niat puasa sunnah tetap sah jika dilakukan pada siang hari. Pendapat ini juga diikuti oleh jumhur ulama, termasuk Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah bin Yaman, Thalhah, Ibnu Abbas, Abu Hanifah, Ahmad, dan Syafi'i.
Secara umum, niat dalam berpuasa adalah wajib. Puasa tidak sah tanpa niat. Waktu pelafalan niat, baik di lisan maupun dalam hati, dapat dilakukan pada malam hari atau siang hari, tergantung jenis puasanya. Namun, yang lebih utama adalah melafalkannya pada malam hari agar mendapatkan pahala lebih, keberkahan, dan menghindari lupa.
Wallahu a’lam.